Entah kenapa selalu ada sepenggal cerita dalam sebuah chapter di buku kehidupanku, ketika suatu makhluk super ‘njelehi’ bernama kesedihan muncul mak bedunduk, mak pecungul, tanpa aba-aba, menyita semangat dan menawan bahagia beserta kroni-kroninya si senyum dan si tawa dan kemudian entah dipenjarakan di penjara bawah tanah mana, hilang menguap lenyap tanpa jejak begitu saja menyisakan kekosongan dan kehampaan yang mendalam....yang kemudian mengundang airmata untuk mengurai sesak yang menghimpit…bukan airmata yang biasa, tapi airmata yang cukup membuat lebam mata.
Kesedihan itu hadir menyentak lewat ‘one klik’ sebuah lagu mellow, menerabas masuk lewat syair demi syair lagu yang saya dengarkan, laksana badai, ia menghancurkan dan memporak porandakan tembok pertahanan saya yang berulang kali jebol dan dibangun lagi dan lagi [yang ternyata] masih juga rapuh, lewat deskripsi novel yang sedang dibaca dan dibuat bantal tidur, lewat persepsi-persepsi ‘embuh dan kadang ngasal’ yang otak saya bangun setelah membaca sebuah tulisan,... ia bersemayam dimana-mana. Dimana saya berada disitulah dia berada. Memakai media apa saja yang bisa digapai oleh hati saya untuk memperkeruh otak dan memberi kerjaan mata menguras air di kantung matanya yang konon katanya itu memang diciptakan khusus untuk kaum hawa. Saya benci sekali moment ini, ketika seolah makhluk-makhluk itu bagaikan sekompi kuman-kuman bertanduk iblis dalam iklan minuman yyang terkenal dengan jargon saya minum dua, yang seolah mentertawakan saya beramai-ramai.
Dan kali ini saya benar-benar tidak tahu saya mau nulis tentang hikmah apa yang bisa saya ambil dari kesedihan saya, maaf kalau pada akhirnya saya hanya nyampah saja di sini, maaf kalau justru menambah daftar panjang dari kenyataan hidup yang tidak mudah yang menjadi alasan pembenaran pertanyaan sinis “apa sih maunya dia dalam huruf besar” . Saya sedang butuh tempat mengurai sesak ini yang ga enaknya lagi diperparah dengan serangan bertubi-tubi virus influenza dari my roommate dan my officemate yang sepertinya gagal saya tangkis bahkan dengan tablet effervescent yang biasanya ampuh. Kepala serasa semakin berdenyut-denyut, sementara seperti ada biji kedondong menari-nari di tenggorokan saya dan aliran kecil anak sungai yang tidak laiknya lewat hidung (silakan lho kalau ada yang mau muntah dulu karena jijik).
Saya mencoba menyidik kesedihan ini berawal, dan menemukan simpulnya pada sebuah makhluk lain lagi yang bernama rasa. Rasa sayang yang [ternyata lagi] melebihi rasa sayang yang dulu pernah ada yang demikian menyakiti dada. Saya tidak pernah mengira akan sejauh ini. Rasa yang tidak luruh oleh hujan kekecewaan, tidak beku oleh dinginnya sunyi, tidak surut oleh teriknya kemarahan, tidak lenyap oleh hembusan angin kebekuan, tidak lekang oleh kejamnya waktu, tidak pupus oleh sebuah jarak yang tercipta. Rasa yang sungguh sabar dan tegar melawan tempaan. Rasa yang membuatku menyadari dia kepada siapa rasa itu berlabuh adalah sosok yang sangat berarti bagiku. Rasa yang kemudian menghidupkan makhluk lain yang tidak kalah mematikannya, ketakutan dan kekhawatiran. Ketakutan dan kekhawatiran akan kehilangan tempat berlabuh itu. Pada detik aku menutup pintu pertama semalam, makhluk-makhluk itu langsung menyerangku tanpa ampun. Membuatku sungguh tidak berdaya dan tidak tahu bagaimana menjalani ini.
*pada sebuah perhentian ketika kunci pintu untuk masuk atau keluar dipegang sang empunya