Selamat Pagi, Mas....
Jam digitalku di hanphoneku menunjukkan pukul 4.31 pagi (aku selalu salah membedakan am dan pm :p... jadi aku memilih kata pagi lagipula itu lebih mengindonesia…wkwk ngeles yang elegan :) )…dan aku tidak bisa tidur lagi. Aku membuka “kotak ajaibku” dan terbersit untuk menuliskan surat terbuka ini.
Mas...itu panggilan perempuan yang engkau sebut ibu kepadamu bukan...?
aku menyukainya...ada nada “ngajeni” di panggilan itu...itu mungkin dimaksudkan untuk memberi contoh adikmu bagaimana memanggil engkau. Seperti kebanyakan para ibu [jawa terutama] yang aku tahu...
Jam digitalku di hanphoneku menunjukkan pukul 4.31 pagi (aku selalu salah membedakan am dan pm :p... jadi aku memilih kata pagi lagipula itu lebih mengindonesia…wkwk ngeles yang elegan :) )…dan aku tidak bisa tidur lagi. Aku membuka “kotak ajaibku” dan terbersit untuk menuliskan surat terbuka ini.
Mas...itu panggilan perempuan yang engkau sebut ibu kepadamu bukan...?
aku menyukainya...ada nada “ngajeni” di panggilan itu...itu mungkin dimaksudkan untuk memberi contoh adikmu bagaimana memanggil engkau. Seperti kebanyakan para ibu [jawa terutama] yang aku tahu...
Mas...dari awal demikian juga aku menyebutmu meski dengan
canggung, tapi kemudian aku lebih memilih memanggilmu dengan panggilan kamu
dalam bahasa jawa krama inggil....tingkatan tertinggi dalam bahasa jawa.
Pada beberapa kesempatan memang aku memanggil/menyebutmu demikian
karena aku juga “ngajeni”.... entah kenapa.... sesuatu yang aku sendiri tidak
bisa menjelaskannya... aku hanya merasa bahwa itu panggilan paling pantas
untukmu... untuk seseorang dengan citra “bintang” [see…aku meralatnya…engkau
bukan bintang, tapi seseorang dengan citra “bintang”, karena aku ngeri dengan
fenomena supernova dan tentu saja aku tidak mau itu terjadi padamu] yang sudah
terlanjur bersinar dalam penilaianku akan engkau, meski sepertinya engkau menyangkalinya
dengan melakukan, menceritakan, menuliskan hal-hal yang terbaca oleh orang lain
sebagai pernyataan bahwa engkau bukan “bintang”.
Tapi sekali lagi dengan alasan yang aku sendiri tidak bisa
menjelaskannya kenapa, [sejak mengenalmu aku masuk kedalam kategori species
manusia yang sering tidak bisa menjelaskan alasan sesuatu hal :) ]
penilaianku tidak pernah berubah...
engkau dan citra “bintang” itu. Aku hanya memakai indera perasa...dan aku
percaya pada indera perasaku, bahwa engkau memang memiliki citra “bintang” itu
dalam dirimu... diakui atau tidak, bagaimanapun engkau berusaha menyangkalinya.
Aih…iya… aku ingat beberapa kejadian yang aku lihat, dengar
dan rasa….dan (maaf tanpa bermaksud membandingkan) aku “compare” dengan situasi
yang sama dan orang yang berbeda….ya kurasa dari situ indera perasa ku
mengirimkan input kepada otak sehingga otak mengolahnya dan mengeluarkan output
bahwa engkau seorang yang baik, penyayang, sabar…tiga kata itu yang lebih dari
cukup untuk menjadikan engkau seorang “bintang” dalam penilaianku…aahh tidak…bukan
aku saja yang menilai demikian, berarti penilaianku benar, meski aku sebenarnya
tidak memerlukan penilaian mereka untuk pembenaran penilaianku karena aku
percaya dengan indera perasaku.
Mas….
engkau tahu pelita kan?
engkau tahu pelita kan?
Hari minggu kemarin aku ibadah bersama anak-anak, tema-nya firmanMu pelita bagi
kakiku terang bagi jalanku.
Aku tanya kepada mereka :
Aku tanya kepada mereka :
“kalian tahu pelita kan?”
”enggaaak….” kata mereka
ahaa…mereka memang hidup dijaman yang tidak lagi mengenal pelita. Mereka hanya
tahu benda pijar yang ditemukan oleh Thomas Alva Edison setelah mengalami 9998 kali kegagalan dan akhirnya…ya akhirnya
percobaan yang ke 9999 benda pijar itu bisa menyala dan membuat anak-anak
sekarang tidak mengetahui apa itu pelita. 9998 kali kegagalan mas….itu baru
untuk satu hal, padahal dia mempatenkan ribuan penemuan yang lain….can you
imagine…berapa kali kegagalan yang dialami pakdhe Thomas ini? Sementara kita…? berapa
kali kegagalan yang kita alami dalam hidup kita…? Aku tidak bisa menghitungnya
(tepatnya aku belum sekurang kerjaan itu, menghitung-hitung kegagalan), tapi
kurasa belum sebanyak itu, dan rasanya aku sudah sering sekali mengeluh, ‘nglokro’,
putus asa…aah engkau pun demikian pasti :). Tapi..It’s woke :)…manusiawi
kok, asal kemudian tidak membuat kita “menghitam” dan tenggelam dalam “dunia
hitam” :) (rumahmu cat nya hitam
semua, meski aku memuja hitam, tapi rasanya kita perlu warna lain dalam hidup
ini).
Mas…
Kenapa aku bertanya tahukah engkau pelita….?
Karena masing-masing orang adalah pelita. Pelita bagi orang lain. Itu adalah kodrat manusia sebagai makhluk social. Begitu juga dengan engkau. Engkau adalah pelita bagi orangtuamu, adikmu, keluargamu, temanmu, relasimu dan masih banyak lagi pastinya. Bisakah engkau bayangkan jika pelitamu meredup nyaris mati…? Apa yang terjadi dengan mereka yang menggantungkan dirinya pada pelita mu…? Apa yang terjadi dengan mereka yang hanya dengan melihat cahaya pelitamu saja sudah membuat pelita mereka benderang? Sadarkah engkau akan arti pelitamu? Sadarkah engkau akan hitamnya dunia disekelilingmu ketika pelitamu meredup? Menyalalah kembali mas…benderanglah….karena itulah engkau….sebuah pelita.
Karena masing-masing orang adalah pelita. Pelita bagi orang lain. Itu adalah kodrat manusia sebagai makhluk social. Begitu juga dengan engkau. Engkau adalah pelita bagi orangtuamu, adikmu, keluargamu, temanmu, relasimu dan masih banyak lagi pastinya. Bisakah engkau bayangkan jika pelitamu meredup nyaris mati…? Apa yang terjadi dengan mereka yang menggantungkan dirinya pada pelita mu…? Apa yang terjadi dengan mereka yang hanya dengan melihat cahaya pelitamu saja sudah membuat pelita mereka benderang? Sadarkah engkau akan arti pelitamu? Sadarkah engkau akan hitamnya dunia disekelilingmu ketika pelitamu meredup? Menyalalah kembali mas…benderanglah….karena itulah engkau….sebuah pelita.
sebelum pagi pecah setelah satu purnama entah siapa yang menggarisi sebuah jarak
pelangi jingga
No comments:
Post a Comment