Sunday, May 13, 2012

.message in a bottle.


Senja, itu yang selalu dicari El jika mengunjungi  eyangnya di Jogja. Beberapa sudut Jogja menjadi tempat favoritnya mandi cahaya jingga dari sang matahari yang sejenak berpamitan dalam janji untuk datang kembali esok pagi. Janji kedua setelah janji Tuhan yang ia pegang. Janji yang tidak mengenal ingkar. 

Senja, entah sudah berapa potret dirinya dalam bingkai senja yang tersimpan dalam folder twilight, setiap tempat yang pernah ia datangi ada dalam bingkai senja dalam folder itu, senja dengan kekuatan magisnya yang mampu membuat ia menjura pada Pencipta gradasi warna nan eksotik. membuat ia merasa hanya sebutir debu ditengah keajaiban semesta yang tidak pernah berhenti membuatnya berdecak kagum. Ia memang Pelukis Yang Agung dengan jumlah masterpiece pada bilangan yang tak terhingga.  

Senja dan kelebatan bayang-bayang masa lalu yang membuat ungu perasaannya, senja terakhirnya di Parang tritis menorehkan perih yang butuh bilangan waktu untuk membebatnya. Sebuah gambar berlatar senja dengan sebuah tulisan di pasir pantai “for the last time I say I love you so” menari-nari di pelupuk matanya ketika kaki nya menapaki pasir pantai. Semilir angin senja parangtritis membelai lembut kulit sawo matangnya.  Ia mengambil sudut terbaik untuk mengambil gambar kepulangan sang matahari. Dia duduk dalam diam sambil membuka backpack nya dan mengeluarkan EOS 500Dnya.


Tertangkap dalam lensanya seorang gadis sedang melemparkan sebuah botol kearah laut lepas.  Gadis berambut sebahu yang dikucir menjuntai yang  bermata sendu. Dengan balutan cardigan hitam dan syal pink ia berdiri menatap laut lepas. Angin memainkan anak-anak rambutnya yang berlarian keluar dari ikatan seperti anak-anak yang berlarian mendatangi tukang gulali yang datang. Siluet yang sempurna telah ia ciptakan, seorang gadis dibibir senja akan menjadi karya photo terbaiknya. Sejenak kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearahnya, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengambil kembali gambar-gambar gadis tersebut sampai ia mendekat. Seorang gadis dengan kesedihan membayang diwajahnya. Senja, pantai dan kesedihan bagi beberapa orang memang berkawan baik.

El beranjak dari tempat duduknya dan menggantungkan kamera nya didada. Ia menyusuri bibir pantai kearah selatan, ke tempat itu, tempat yang pernah menjadi saksi norma peradatan terpilih sebagai alasan untuk menciptakan jurang antara ia dan rhea. Jurang yang tak terjembatani hingga sekarang dan sampai kapanpun. Photo tag rhea di facebooknya tentang undangan pernikahannya menjadi pembunuh makhluk bernama harapan yang masih ia hidupi selama ini, photo tag itu juga  yang membawa El kesini, ke parangtritis, untuk mengenang, untuk kali terakhir sebelum semuanya ia kubur dalam-dalam. Semua sudah tidak berbekas, semesta seakan mempermudah semuanya, gelombang pasang telah menghapus jejak yang pernah mereka tinggalkan. El pun beranjak dari titik itu, titik dimana kenyataan berbicara tanpa nurani. Ia melangkah perlahan meninggalkan tempat itu kembali menyusuri bibir pantai untuk kemudian beranjak pulang. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu didepannya, sebuah botol. Dipungutnya dan diperhatikannya ada sesuatu didalamnya. A message in a bottle…masih ada yang mempergunakan cara ini untuk menuangkan perasaannya di tengah dunia virtual yang menawarkan rumah aksara untuk tempat meluapkan semua hal tentang hidup yang kompleks kuadrat. Perlahan dibukanya penutupnya dan diambilnya gulungan kertas itu. Sebuah surat dengan tulisan tangan yang sangat rapi.

dear ibuk ku,
Buk…adakah tangga surga itu…? Ingin kutemukan untuk menemuimu, untuk sejenak berbaring di pangkuanmu seperti dulu ketika kita masih bersama. Untuk merasakan lagi lembut usapan tanganmu di kepalaku, untuk merasakan lagi kehangatan belaian tanganmu dipunggungku. Kehangatan yang mengaliri kedamaian dan ketentraman. Untuk sekedar bercerita tentang hitam putih dan jingganya kehidupan.

Buk, kali ini tentang satu cahaya di langit kelam yang sinarnya adalah rimba pesona yang membuatku jauh tersesat kedalamnya tanpa tahu jalan untuk kembali.  Sebuah cahaya yang tawanya adalah pedar bahagiaku dan sedihnya adalah sembilu bagi jiwaku.  Sebuah cahaya yang tinggal dalam dunia pekat yang diciptakannya. Telah aku lakukan segala yang aku mampu, kubawakan pelita untuk sedikit memberi terang, tetapi pekat yang diciptakannya menelan habis cahaya pelitaku. Kucoba untuk menariknya keluar dari dunianya, tapi benteng yang didirikan terlalu kokoh untuk ditembus. Ia hanya menginginkan satu pelita yang dulu pernah membuatnya menjadi cahaya yang bersinar sekaligus kemudian memadamkannya. Melihatnya perlahan meredup adalah siksa batin tak bertepi buk, setiap jarak yang diciptakan adalah salib bagi jiwaku.



Buk, ini adalah kenyataan yang tak pernah bisa aku pahami. Bagaimana bisa adalah pertanyaan tak terjawab yang semakin sering aku ucapkan. Aku menjadi bukan aku. Aku bukan aku yang biasa. Aku menjadi saya. Aku menjelma tegar. Aku berkawan baik dengan godhong kara. Dan pada setiap spasi dari kalimat-kalimat itu ada letih, ada putus asa, ada marah, ada geram, ada sebal yang anehnya dan sungguh tidak biasa selalu berujung dengan kalimat ["bukan aku sekali"] aku tidak akan menyerah. Ibuk pasti sekarang akan mengamini, itu bukan aku. Ya , ibuk benar itu bukan aku, dan sudah berulangkali aku cari jawabnya. Selalu kutemukan jawaban yang sama pada akhirnya. Jawaban yang tidak pernah kuduga. Jawaban yang tidak pernah kukira. Semua sudah terlanjur. Aku hanya ingin mengakuinya buk. Aku hanya ingin mengakuinya agar tidak akan ada penyesalan kelak. Aku menyayanginya. Sangat.ta. Bukankah itu bukan dosa buk….?


-Anak gadismu. Dru

El termangu membaca surat itu. Gadis itu…gadis yang tadi dipotretnya. Dru….
ia pun bergegas melangkah kearah kemana gadis itu menghilang. Dia harus mengejarnya, untuk apa ia tidak tahu, hati kecilnya berbisik ia harus bertemu dengan gadis itu. Hati yang sama yang juga membawanya kesini.



*sebelum fajar merekah pada suatu minggu setelah satu purnama.  




No comments: