Senja, itu yang selalu dicari El jika mengunjungi eyangnya di Jogja. Beberapa sudut Jogja
menjadi tempat favoritnya mandi cahaya jingga dari sang matahari yang sejenak
berpamitan dalam janji untuk datang kembali esok pagi. Janji kedua setelah
janji Tuhan yang ia pegang. Janji yang tidak mengenal ingkar.
Senja, entah sudah berapa potret dirinya dalam bingkai senja yang tersimpan
dalam folder twilight, setiap tempat yang pernah ia datangi ada dalam bingkai
senja dalam folder itu, senja dengan kekuatan magisnya yang mampu membuat ia
menjura pada Pencipta gradasi warna nan eksotik. membuat ia merasa hanya sebutir debu ditengah keajaiban semesta yang tidak pernah berhenti membuatnya berdecak kagum. Ia memang Pelukis Yang Agung dengan jumlah masterpiece pada bilangan yang tak terhingga.
Tertangkap dalam lensanya seorang gadis sedang melemparkan
sebuah botol kearah laut lepas. Gadis berambut
sebahu yang dikucir menjuntai yang bermata sendu. Dengan balutan cardigan hitam
dan syal pink ia berdiri menatap laut lepas. Angin memainkan anak-anak
rambutnya yang berlarian keluar dari ikatan seperti anak-anak yang berlarian
mendatangi tukang gulali yang datang. Siluet yang sempurna telah ia ciptakan,
seorang gadis dibibir senja akan menjadi karya photo terbaiknya. Sejenak kemudian
gadis itu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearahnya, ia tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk mengambil kembali gambar-gambar gadis tersebut sampai ia
mendekat. Seorang gadis dengan kesedihan membayang diwajahnya. Senja, pantai
dan kesedihan bagi beberapa orang memang berkawan baik.
El beranjak dari tempat duduknya dan menggantungkan kamera
nya didada. Ia menyusuri bibir pantai kearah selatan, ke tempat itu, tempat
yang pernah menjadi saksi norma peradatan terpilih sebagai alasan untuk
menciptakan jurang antara ia dan rhea. Jurang yang tak terjembatani hingga
sekarang dan sampai kapanpun. Photo tag rhea di facebooknya tentang undangan
pernikahannya menjadi pembunuh makhluk bernama harapan yang masih ia hidupi selama ini,
photo tag itu juga yang membawa El
kesini, ke parangtritis, untuk mengenang, untuk kali terakhir sebelum semuanya
ia kubur dalam-dalam. Semua sudah tidak berbekas, semesta seakan mempermudah
semuanya, gelombang pasang telah menghapus jejak yang pernah mereka tinggalkan.
El pun beranjak dari titik itu, titik dimana kenyataan berbicara tanpa nurani. Ia
melangkah perlahan meninggalkan tempat itu kembali menyusuri bibir pantai untuk
kemudian beranjak pulang. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu didepannya,
sebuah botol. Dipungutnya dan diperhatikannya ada sesuatu didalamnya. A message
in a bottle…masih ada yang mempergunakan cara ini untuk menuangkan perasaannya
di tengah dunia virtual yang menawarkan rumah aksara untuk tempat meluapkan
semua hal tentang hidup yang kompleks kuadrat. Perlahan dibukanya penutupnya
dan diambilnya gulungan kertas itu. Sebuah surat dengan tulisan tangan yang
sangat rapi.
dear ibuk ku,
Buk…adakah tangga surga itu…? Ingin kutemukan untuk menemuimu, untuk sejenak berbaring di pangkuanmu seperti dulu ketika kita masih bersama. Untuk merasakan lagi lembut usapan tanganmu di kepalaku, untuk merasakan lagi kehangatan belaian tanganmu dipunggungku. Kehangatan yang mengaliri kedamaian dan ketentraman. Untuk sekedar bercerita tentang hitam putih dan jingganya kehidupan.
Buk, kali ini tentang satu cahaya di langit kelam yang sinarnya adalah rimba pesona yang membuatku jauh tersesat kedalamnya tanpa tahu jalan untuk kembali. Sebuah cahaya yang tawanya adalah pedar bahagiaku dan sedihnya adalah sembilu bagi jiwaku. Sebuah cahaya yang tinggal dalam dunia pekat yang diciptakannya. Telah aku lakukan segala yang aku mampu, kubawakan pelita untuk sedikit memberi terang, tetapi pekat yang diciptakannya menelan habis cahaya pelitaku. Kucoba untuk menariknya keluar dari dunianya, tapi benteng yang didirikan terlalu kokoh untuk ditembus. Ia hanya menginginkan satu pelita yang dulu pernah membuatnya menjadi cahaya yang bersinar sekaligus kemudian memadamkannya. Melihatnya perlahan meredup adalah siksa batin tak bertepi buk, setiap jarak yang diciptakan adalah salib bagi jiwaku.
Buk, ini adalah kenyataan yang tak pernah bisa aku pahami. Bagaimana bisa adalah pertanyaan tak terjawab yang semakin sering aku ucapkan. Aku menjadi bukan aku. Aku bukan aku yang biasa. Aku menjadi saya. Aku menjelma tegar. Aku berkawan baik dengan godhong kara. Dan pada setiap spasi dari kalimat-kalimat itu ada letih, ada putus asa, ada marah, ada geram, ada sebal yang anehnya dan sungguh tidak biasa selalu berujung dengan kalimat ["bukan aku sekali"] aku tidak akan menyerah. Ibuk pasti sekarang akan mengamini, itu bukan aku. Ya , ibuk benar itu bukan aku, dan sudah berulangkali aku cari jawabnya. Selalu kutemukan jawaban yang sama pada akhirnya. Jawaban yang tidak pernah kuduga. Jawaban yang tidak pernah kukira. Semua sudah terlanjur. Aku hanya ingin mengakuinya buk. Aku hanya ingin mengakuinya agar tidak akan ada penyesalan kelak. Aku menyayanginya. Sangat.ta. Bukankah itu bukan dosa buk….?
-Anak gadismu. Dru
El
termangu membaca surat itu. Gadis itu…gadis yang tadi dipotretnya. Dru….
ia pun bergegas melangkah kearah kemana gadis itu menghilang. Dia harus
mengejarnya, untuk apa ia tidak tahu, hati kecilnya berbisik ia harus bertemu
dengan gadis itu. Hati yang sama yang juga membawanya kesini.
*sebelum fajar merekah pada suatu minggu setelah satu purnama.
No comments:
Post a Comment