Thursday, October 11, 2012

sebuah nasihat imajiner dari nenek saya


Hai Nus....mulai sekarang aku tidak akan menanyakan kabarmu, aku tahu kabarmu pasti selalu baik dan basah :). Nus....aku kangen menulis surat padamu, seperti aku kangen dia, bedanya kalau aku kangen menulis surat padamu aku tinggal tulis, tapi kalau aku kangen dia aku tidak mungkin mengiriminya surat :( aahh...sudahlah aku sudah berjanji pada diri sendiri tidak akan galau lagi.

Nus, aku pengen cerita kejadian kemarin, kemarin petang hingga malam tepatnya, aku harus merasakan berenang-renang ke tepian, berakit-rakit ke hulu, ya...aku bersenang-senang dahulu, mengabaikan tumpukan pakaian dan bersenang-senang dengan santai, kemudian bersakit-sakit karena harus menyetrika baju bertumpuk-tumpuk karena menundanya. Bahagia itu memang sederhana, tapi tidak bahagiapun sederhana, tundalah pekerjaan yang harusnya bisa dikerjakan, maka tidak bahagia pasti dalam genggaman :)). Sambil berkali-kali menggerutu karena capek, aku mendengarkan curhatan teman sekamarku Nus, seorang yang masih belia baru saja lulus dari politeknik sebuah universitas di Palembang.

Ia bercerita tentang kisahnya dengan kekasihnya yang sering bertengkar..Nus, ia merasa sering diperlakukan seenaknya, dan ia merasa apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu seperti apa yang dia lakukan pada ibunya,  ia kemudian bertanya kepadaku, “apa ini karma ya mbak, karena aku sering memperlakukan ibuku seperti itu...?” tanyanya.
“Habis ibu tu begitu, kalau diajak ngomong suka tidak nyambung, jadi aku kesel”, begitu katanya ketika kutanya mengapa. Apa yang diceritakan oleh temanku tersebut kemudian menghadirkan sebuah rasa yang seperti meremas-remas hatiku Nus dan menghasilkan rindu yang teramat sangat. Rindu pada sosok yang memiliki usapan tangan terhangat didunia. Rindu pada sosok yang memiliki pelukan terhangat di dunia. Rindu yang menyiksa Nus, karena aku masih harus menunggu beberapa waktu lagi untuk mengobatinya.

Nus, rindu akan kehangatan pelukan ibu tersebut, membawa serta ingatan akan semua yang ada disana, semua Nus, bahkan sampai ke sosok seorang yang sudah tidak ada lagi, sosok luar biasa, aku hanya bisa membayangkannya karena aku tidak pernah mengenalnya,  ia dipanggil yang Maha Kuasa jauh sebelum aku lahir, bahkan saat itu ibuku masih berusia 4 tahun. Tapi aku tahu ia seorang sosok yang luar biasa, kesetiaan kakekku yang sampai akhir hayatnya tidak menikah lagi, membuktikannya. Dulu aku selalu berimajinasi, ia masih ada dan selalu menasihati cucu-cucunya dengan petuah bijak, diantaranya satu yang selalu hadir dalam imajinasiku adalah :

“urip iku saiki lan sesuk nduk, kemarin hanyalah tempat kita menengok dan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dihari ini dan esok, tempat kita menengok dan belajar untuk selalu mengulang kebaikan yang pernah kita lakukan kalau perlu lebih. siapa dirimu adalah dirimu sekarang, bukan dirimu kemarin. hidupilah hari ini saja dan esok, jangan menghidupi hari kemarin, karena itu sia-sia.”

Ah, rindu selalu begitu Nus, mengais-ngais kenangan yang terkadang membawa  seseorang ke dunia yang tidak bisa dimasukinya lagi, dunia absurd yang hanya ada dalam keabadian kenangan dalam pikiran manusia. Dunia yang kadang terlihat begitu indah yang membuat manusia ingin kembali kesana, tapi juga tidak jarang terlihat sebagai neraka yang ingin dilupakan tapi tidak pernah bisa. Itulah kami manusia Nus....rumit....iya sesederhana itu kata seorang penyair favoritku yang sering kukunjungi rumahnya, alamatnya disini.

Itu saja Nus...ceritaku...sampai jumpa lagi di cerita yang lain...



me

No comments: