Langit berjelaga diatas pelataran parkir stasiun tugu sore itu,
sore yang basah sehabis hujan yang dengan raya-nya merayakan pertemuannya
dengan bumi yang dicintainya lebih dari apapun. Hujan yang selalu meninggalkan
dingin yang basah. Aku dan dru adikku bergegas turun dari taxi yang kami
tumpangi dan memasuki stasiun. Sejenak dru berhenti didepan seorang nenek renta
yang duduk di depan stasiun dengan mangkuk didepannya, dan menjatuhkan selembar
uang diatasnya, nenek itu dengan membungkuk-bungkuk memungut uang dan
mengucapkan terima kasih berkali-kali, “maturnuwun nak..matur sembah nuwun.” Dru
tersenyum mengangguk dan ia segera menggamit lenganku untuk mengambil antrian di
loket sisi utara.
Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan dua tiket
dan dengan melangkah riang kami memasuki peron utara, bayangan ibuk yang sudah
menunggu dirumah dengan timlo hangatnya sudah menari-nari di pelupuk mataku.
Kami pun mencari-cari bangku kosong untuk menunggu kereta datang. kami
menemukan sebuah tempat kosong, didekat pedagang asongan di depan kantor
kepala stasiun. Jadwal kereta masih 30 menit lagi kalau sesuai jadwal, baru
beberapa menit kami duduk di kursi itu, seorang pengamen berambut gondrong
datang menghampiri kami.
”Misi mas...mbak...numpang ngamen mbak....”
“Fixed you, bisa mas?” Tanya adikku
”coldplay mbak?”
“iya, emang ada lagi yang lain selain coldplay?”
Sambil meringis, pengamen itu menjawab, “kali aja mbak... ada yang
lain, saya cuma bisa fixed you coldplay.”
Musisi jalanan itupun mempersiapkan gitarnya.
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse
When the
tears come streaming down your face
When you lose
something you can't replace
When you love
someone, but it goes to waste
Could it be
worse?
Lights will
guide you home
And ignite
your bones
And I will
try to fix you
High up above
or down below
When you too
in love to let it go
If you never
try you will never know
Just what
your worth
Lights will
guide you home
And ignite
your bones
And I will
try to fix you
Tears stream
down your face
When you lose
something you cannot replace
Tears stream
down on your face
And I..
Tears stream
down your face
I promise you
I will learn from my mistakes
Tears stream
down on your face
And I..
Lights will
guide you home
And ignite
your bones
And I will
try to fix you.
Jreng...Jreeeeenggg....pengamen itu membungkukkan badannya, sambil
berkali-kali mengucapkan terimakasih, ketika dru memberinya lembaran uang
sambil berkata, “terimakasih sudah membuat bulu kuduk saya merinding, taklukkan
jakarta mas, suaramu layak didengarkan seluruh penduduk negeri ini.”
“Apa maksudnya lagu tadi?” tanyaku pada dru
“maksudnya...? I will try to fix you mas hehe....” dru pun menyenderkan kepalanya
ke bahuku.
“gayamu nduk....”
“mas, ibuk kan selalu bilang Tuhan itu baik, ingat nggak? Ibuk
pernah berkata, kalaupun tuhan membawa kita ke ujung tebing, percayalah
padaNya, karena Dia akan lakukan satu dari dua hal ini. Dia akan menangkap kita
bila kita jatuh, atau Dia akan mengajari kita bagaimana caranya terbang.”
“Tuhan tidak pernah menangkapku dru...aku terjatuh...sakit
sekali... .”
“mas...Tuhan memang tidak menangkapmu, karena engkau tidak
terjatuh, tapi Ia sedang mengajarimu
terbang, sakit yang engkau rasa itu adalah proses kamu belajar terbang, tidak
ada belajar yang mudah, kamu ingat kan bagaimana jari-jari kita disentil pak Wayan waktu kita masih les gitar padanya
karena melakukan kesalahan, kamu ingat kan bagaimana kita harus lari keliling
lapangan, pemanasan yang berat dan latih tanding yang membuat badan kita sakit
semua, kamu ingat kan kita dihukum menuliskan 100 kosa kata oleh miss Lusi ketika
kita tidak menghafal 10 kosakata baru, kamu ingat kan bagaimana kita belajar
keras demi untuk lulus ujian dan tidak mengecewakan ibuk dengan kita tidur
hampir jam 3 pagi...? tidak ada proses belajar yang mudah mas...., belajar itu
sakit, itu yang sedang Tuhan lakukan
pada mu mas....”
“kamu udah kayak eyang saja kalau bicara.”
“eyang gundulmu...”
“husshh...kurang ajar sama kakaknya ngomong begitu.”
“hahaha... habis mas Giri yang mulai.”
Kami terdiam, dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Pandanganku menyapu peron utara dari ujung barat ke ujung timur, stasiun ini sudah jadi bagian hidupku sejak kecil, dulu ibuk paling tidak sebulan sekali membawa kami sowan Eyang di Jogja, sekarang setiap satu minggu sekali, aku dan dru datang kesini untuk menumpang kereta yang akan membawa kami pulang ke Solo dan kembali senin pagi ke Jogja. Sebuah stasiun yang juga membawa kenangan pahit bagi keluarga kami. Di stasiun ini, di peron ini, kami pernah memohon-mohon belas kasihan seorang ayah untuk tidak pergi.
“mas...” dru tiba-tiba membangunkan lamunanku
“hmm...apa?”
“mikirin apa lagi sih..? mas....sudahlah, sekarang yang penting
tuh, kita do our best, kita wujudkan mimpi kita menjadi kenyataan, yang juga
berarti kebahagiaan ibuk, nanti yang lain akan mengikuti, the right people –the
ones who really belong to our life- will come to us and stay.”
“tapi dru, apa kita bisa?”
“mas....orang bijak berkata mimpi adalah sesuatu yang keluar dari
pagar pembatas yang bernama realitas, jangan takut bermimpi mas, engkau tahu,
kita lahir dari mimpi seorang perempuan yang ditertawakan banyak orang, and
here we are, buah dari mimpi itu. Meski ibuk telah salah bermimpi, sesuatu yang
dikiranya jingga ternyata fatamorgana.”
“sudahlah dru, jangan membawa-bawa cerita itu lagi dalam hidup
kita.”
“itu memang bagian dari hidup kita mas, mau tidak mau, mencoba menutup matapun tidak akan hilang, kenyataan itu akan selalu mengikuti kemanapun kita pergi, seumur hidup kita, dan kita tidak bisa menolaknya, yang bisa kita lakukan hanya berdamai dengan itu semua, menerimanya, sambil pelan-pelan mencoba memaafkan, tidak mudah memang mas, tapi hanya dengan begitu kita bisa nyaman menjalani sisa hidup kita, tanpa dendam, karena bagaimanapun ia adalah ayah kita, didalam tubuh kita mengalir darahnya.”
“itu memang bagian dari hidup kita mas, mau tidak mau, mencoba menutup matapun tidak akan hilang, kenyataan itu akan selalu mengikuti kemanapun kita pergi, seumur hidup kita, dan kita tidak bisa menolaknya, yang bisa kita lakukan hanya berdamai dengan itu semua, menerimanya, sambil pelan-pelan mencoba memaafkan, tidak mudah memang mas, tapi hanya dengan begitu kita bisa nyaman menjalani sisa hidup kita, tanpa dendam, karena bagaimanapun ia adalah ayah kita, didalam tubuh kita mengalir darahnya.”
“aku belum bisa dru...aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa.”
“waktu akan membantumu mas, satu hal yang perlu engkau catat,
hidup dalam dendam yang rugi diri kita sendiri, orang yang kita benci bahkan tidak
tahu, tidak mau tahu tepatnya, kita menderita karena sakit dan dendam, mereka
enjoy menikmati hidup mereka, sementara kita setengah hidup memikirkan rasa
sakit kita, hidup cuma satu kali dan cuma sebentar, klise memang, tapi yang cuma
satu kali dan sebentar itu rasanya terlalu sia-sia untuk dihabiskan dengan
menghidupi dendam.”
“kamu
benar-benar anak ibuk dru..., ada ibuk komplit di dirimu.”
“hahaha...ada-ada saja kamu mas.”
“eh , gimana dengan Didas?”
“ehm...baik.”
“trus...? baik aja? Dia belum tahu? Kamu belum memberitahunya?”
“never mas, kalaupun dia harus tahu, itu tidak dari aku, aku bukan seorang yang untuk menjadi tinggi dengan merendahkan orang lain, aku bukan seorang yang untuk menjadi terlihat baik dengan menjelek-jelekkan orang lain, aku bukan yang seperti itu mas, aku bukan seorang yang mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. Didas harus tahu aku baik dan tulus, dengan merasakan sendiri bahwa aku baik dan tulus bukan dengan bercerita tentang orang lain yang begini-begini.”
“sabar yaa.... the right people –the ones who really belong to our life- will come to us and stay.”
“Ih..copas...hahaha”
“hahaha...ada-ada saja kamu mas.”
“eh , gimana dengan Didas?”
“ehm...baik.”
“trus...? baik aja? Dia belum tahu? Kamu belum memberitahunya?”
“never mas, kalaupun dia harus tahu, itu tidak dari aku, aku bukan seorang yang untuk menjadi tinggi dengan merendahkan orang lain, aku bukan seorang yang untuk menjadi terlihat baik dengan menjelek-jelekkan orang lain, aku bukan yang seperti itu mas, aku bukan seorang yang mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. Didas harus tahu aku baik dan tulus, dengan merasakan sendiri bahwa aku baik dan tulus bukan dengan bercerita tentang orang lain yang begini-begini.”
“sabar yaa.... the right people –the ones who really belong to our life- will come to us and stay.”
“Ih..copas...hahaha”
Perlahan kereta api Prambanan Express yang kami tunggu kelihatan lokonya berjalan perlahan memasuki stasiun, kami membereskan backpack kami dan bergegas ke pinggir peron, untuk berlomba dengan penumpang lain mendapatkan tempat duduk, sabtu sore merupakan jam-jam tidak ramah bagi penumpang Kereta api express ini. Bayangan ibuk yang akan menyambut kami dengan senyum merekah di pintu pagar seperti biasanya merupakan energi luar biasa bagi kami untuk mendapatkan tempat di salah satu gerbong kereta ini.
#Oktober 27
No comments:
Post a Comment