Saturday, October 27, 2012

pada sebuah ruang tunggu stasiun Tugu...



Langit berjelaga diatas pelataran parkir stasiun tugu sore itu, sore yang basah sehabis hujan yang dengan raya-nya merayakan pertemuannya dengan bumi yang dicintainya lebih dari apapun. Hujan yang selalu meninggalkan dingin yang basah. Aku dan dru adikku bergegas turun dari taxi yang kami tumpangi dan memasuki stasiun. Sejenak dru berhenti didepan seorang nenek renta yang duduk di depan stasiun dengan mangkuk didepannya, dan menjatuhkan selembar uang diatasnya, nenek itu dengan membungkuk-bungkuk memungut uang dan mengucapkan terima kasih berkali-kali, “maturnuwun nak..matur sembah nuwun.” Dru tersenyum mengangguk dan ia segera menggamit lenganku untuk mengambil antrian di loket sisi utara.

Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan dua tiket dan dengan melangkah riang kami memasuki peron utara, bayangan ibuk yang sudah menunggu dirumah dengan timlo hangatnya sudah menari-nari di pelupuk mataku. Kami pun mencari-cari bangku kosong untuk menunggu kereta datang. kami menemukan sebuah tempat kosong, didekat pedagang asongan di depan kantor kepala stasiun. Jadwal kereta masih 30 menit lagi kalau sesuai jadwal, baru beberapa menit kami duduk di kursi itu, seorang pengamen berambut gondrong datang menghampiri kami.

”Misi mas...mbak...numpang ngamen mbak....”
“Fixed you, bisa mas?” Tanya adikku
”coldplay mbak?”
“iya, emang ada lagi yang lain selain coldplay?”
Sambil meringis, pengamen itu menjawab, “kali aja mbak... ada yang lain, saya cuma bisa fixed you coldplay.”
Musisi jalanan itupun mempersiapkan gitarnya.

When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse

When the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

High up above or down below
When you too in love to let it go
If you never try you will never know
Just what your worth

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace
Tears stream down on your face
And I..

Tears stream down your face
I promise you I will learn from my mistakes
Tears stream down on your face
And I..

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you.

Jreng...Jreeeeenggg....pengamen itu membungkukkan badannya, sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih, ketika dru memberinya lembaran uang sambil berkata, “terimakasih sudah membuat bulu kuduk saya merinding, taklukkan jakarta mas, suaramu layak didengarkan seluruh penduduk negeri ini.”

“Apa maksudnya lagu tadi?” tanyaku pada dru
“maksudnya...? I will try to fix you  mas hehe....” dru pun menyenderkan kepalanya ke bahuku.
“gayamu nduk....”
“mas, ibuk kan selalu bilang Tuhan itu baik, ingat nggak? Ibuk pernah berkata, kalaupun tuhan membawa kita ke ujung tebing, percayalah padaNya, karena Dia akan lakukan satu dari dua hal ini. Dia akan menangkap kita bila kita jatuh, atau Dia akan mengajari kita bagaimana caranya terbang.”
“Tuhan tidak pernah menangkapku dru...aku terjatuh...sakit sekali... .”
“mas...Tuhan memang tidak menangkapmu, karena engkau tidak terjatuh, tapi Ia sedang  mengajarimu terbang, sakit yang engkau rasa itu adalah proses kamu belajar terbang, tidak ada belajar yang mudah, kamu ingat kan bagaimana jari-jari kita disentil  pak Wayan waktu kita masih les gitar padanya karena melakukan kesalahan, kamu ingat kan bagaimana kita harus lari keliling lapangan, pemanasan yang berat dan latih tanding yang membuat badan kita sakit semua, kamu ingat kan kita dihukum menuliskan 100 kosa kata oleh miss Lusi ketika kita tidak menghafal 10 kosakata baru, kamu ingat kan bagaimana kita belajar keras demi untuk lulus ujian dan tidak mengecewakan ibuk dengan kita tidur hampir jam 3 pagi...? tidak ada proses belajar yang mudah mas...., belajar itu sakit, itu yang sedang Tuhan  lakukan pada mu mas....”
“kamu udah kayak eyang saja kalau bicara.”
“eyang gundulmu...”
“husshh...kurang ajar sama kakaknya ngomong begitu.”
“hahaha... habis mas Giri yang mulai.”

Kami terdiam, dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Pandanganku menyapu peron utara dari ujung barat ke ujung timur, stasiun ini sudah jadi bagian hidupku sejak kecil, dulu ibuk paling tidak sebulan sekali membawa kami sowan Eyang di Jogja, sekarang setiap satu minggu sekali, aku dan dru datang kesini untuk menumpang kereta yang akan membawa kami pulang ke Solo dan kembali senin pagi ke Jogja. Sebuah stasiun yang juga membawa kenangan pahit bagi keluarga kami. Di stasiun ini, di peron ini, kami pernah memohon-mohon belas kasihan seorang ayah untuk tidak pergi.

“mas...” dru tiba-tiba membangunkan lamunanku
“hmm...apa?”
“mikirin apa lagi sih..? mas....sudahlah, sekarang yang penting tuh, kita do our best, kita wujudkan mimpi kita menjadi kenyataan, yang juga berarti kebahagiaan ibuk, nanti yang lain akan mengikuti, the right people –the ones who really belong to our life- will come to us and stay.”
“tapi dru, apa kita bisa?”
“mas....orang bijak berkata mimpi adalah sesuatu yang keluar dari pagar pembatas yang bernama realitas, jangan takut bermimpi mas, engkau tahu, kita lahir dari mimpi seorang perempuan yang ditertawakan banyak orang, and here we are, buah dari mimpi itu. Meski ibuk telah salah bermimpi, sesuatu yang dikiranya jingga ternyata fatamorgana.”
“sudahlah dru, jangan membawa-bawa cerita itu lagi dalam hidup kita.”
“itu memang bagian dari hidup kita mas, mau tidak mau, mencoba menutup matapun tidak akan hilang, kenyataan itu akan selalu mengikuti kemanapun kita pergi, seumur hidup kita, dan kita tidak bisa menolaknya, yang bisa kita lakukan hanya berdamai dengan itu semua, menerimanya, sambil pelan-pelan mencoba memaafkan, tidak mudah memang mas, tapi hanya dengan begitu kita bisa nyaman menjalani sisa hidup kita, tanpa dendam, karena bagaimanapun ia adalah ayah kita, didalam tubuh kita mengalir darahnya.”
“aku belum bisa dru...aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa.”
“waktu akan membantumu mas, satu hal yang perlu engkau catat, hidup dalam dendam yang rugi diri kita sendiri, orang yang kita benci bahkan tidak tahu, tidak mau tahu tepatnya, kita menderita karena sakit dan dendam, mereka enjoy menikmati hidup mereka, sementara kita setengah hidup memikirkan rasa sakit kita, hidup cuma satu kali dan cuma sebentar, klise memang, tapi yang cuma satu kali dan sebentar itu rasanya terlalu sia-sia untuk dihabiskan dengan menghidupi dendam.”
“kamu benar-benar anak ibuk dru..., ada ibuk komplit di dirimu.”
“hahaha...ada-ada saja kamu mas.”
“eh , gimana dengan Didas?”
“ehm...baik.”
“trus...? baik aja? Dia belum tahu? Kamu belum memberitahunya?”
“never mas, kalaupun dia harus tahu, itu tidak dari aku, aku bukan seorang yang untuk menjadi tinggi dengan merendahkan orang lain, aku bukan seorang yang untuk menjadi terlihat baik dengan menjelek-jelekkan orang lain, aku bukan yang seperti itu mas, aku bukan seorang yang mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. Didas harus tahu aku baik dan tulus, dengan merasakan sendiri bahwa aku baik dan tulus bukan dengan bercerita tentang orang lain yang begini-begini.”
“sabar yaa....
the right people –the ones who really belong to our life- will come to us and stay.”
“Ih..copas...hahaha”

Perlahan kereta api Prambanan Express yang kami tunggu kelihatan lokonya berjalan perlahan memasuki stasiun, kami membereskan backpack kami dan bergegas ke pinggir peron, untuk berlomba dengan penumpang lain mendapatkan tempat duduk, sabtu sore merupakan jam-jam tidak ramah bagi penumpang Kereta api express ini. Bayangan ibuk yang akan menyambut kami dengan senyum merekah di pintu pagar seperti biasanya merupakan energi luar biasa bagi kami untuk mendapatkan tempat di salah satu gerbong kereta ini.




#Oktober 27

No comments: