Wednesday, August 22, 2012

pada suatu sore (sebuah cerpen)

Photo by Alitograph dari Jogja Fans Page
 
Segelas besar jahe susu mengepul dengan cairan susu kental yang belum teraduk sempurna mengendap dibagian bawah disajikan oleh sebuah tangan berkulit sawo matang dengan urat-urat yang bertonjolan dalam balutan kerut-kerut kulitnya tapi terlihat sangat kokoh, tangan yang langsung bercerita banyak tentang perjuangan si empunya menghidupi hidupnya yang  tidak mudah tanpa dia bercerita secara langsung. Pak To namanya

”monggo nak…jahe susu nipun…”
“injih pak, matur nuwun”.

Kulihat senyum Pak To yang mentransformasikan kehangatan ke kedua mataku terus menelusup kesekujur  tubuh, sejenak menghangatkan tubuhku dari dingin yang begitu mengigit. Ia pun kembali sibuk dengan tungku arangnya. Kuraih gelas itu dan sesekali kupegang badan gelasnya untuk mencari kehangatan sambil kuhirup aroma jahe susu yang sangat khas. Hujan sore tadi benar-benar membekukan udara. Jalanan sangat lengang, orang-orang mungkin lebih memilih tinggal dirumah menyeduh secangkir kopi atau hot chocolate dari dispenser sebagai teman sepotong cheese cake atau sepotong brownies kukus sambil browsing internet atau sekedar menonton televisi.  Atau mungkin dibelahan bumi lain, orang-orang lebih memilih menjerang air di tungku kayu nya sambil menghangatkan badan untuk membuat teh poci dan membakar ketela atau menggoreng ubi sambil membicarakan perkembangan sawah mereka.

“tumben sepi pak?” aku mencoba membuka percakapan dengan Pak To
“injih nak, habis hujan, dan masih terlalu sore, sebentar lagi biasanya mereka berdatangan.”

Aku terdiam kembali menikmati kehangatan jahe susu dan tenggelam dalam kenangan saat itu, kita pernah disini Rhe...,  hujan menahan kita disini sehabis menjemputmu di stasiun, kamu yang merengek-rengek minta singgah di angkringan karena kangen ceker bakar. kita berlari-lari kecil menembus gerimis kamu menolak jaket yang kupayungkan ke kepalamu ketika kulihat anak-anak rambutmu sudah basah oleh derasnya gerimis.

“sudah lama aku tidak hujan-hujanan.. nan.” Begitu katamu waktu itu.  
“tapi alergi dinginmu pasti nanti akan kambuh.” Aku bersikeras memayunginya dengan jaket
“kan ada kamu, itu gunanya kekasih kan..hahaha.” dia tertawa riang

“saking tindak pundi mas…?” tiba-tiba Pak To membangunkanku dari lamunanku
“saking pakuncen pak.” Jawabku singkat
Pak To pun mengerutkan dahinya dan bertanya, “dari melayat?”
“tidak pak, ziarah…?” jawabku singkat lagi
“oh, orang tua…?” tanyanya lagi…
aku terdiam lama, “…kekasih saya pak.” Jawabku berat sambil menghisap dalam-dalam rokok terakhir yang tersisa.
“Maaf nak…bapak tidak bermaksud ……” Pak To menggantung kalimatnya
"tidak apa-apa pak." Pak To pun terdiam seolah tidak ingin menggangguku

Aku kembali terdiam kembali dan tenggelam dalam lamunanku.
Rhe…mengapa pertanyaan itu selalu terasa berat untuk dijawab, menjawab itu seperti aku harus mengakui bahwa kamu sudah tidak ada disampingku lagi, sementara rasanya kamu tidak pernah pergi dariku. Ini tahun ketiga Rhe…tahun ketiga sejak engkau tersenyum abadi dalam pelukanku. Dan kenangan akan engkau tidak pernah berhasil kukemasi, selalu berloncatan keluar satu demi satu, berjajar meminta untuk selalu dibaca. Disini Rhe, dikursi ini terakhir aku melihatmu tertawa melihatku mukaku yang sudah seperti kepiting rebus karena salah mengambil nasi dan memakan sambal yang sangat pedas. Engkau kemudian menyuapiku sendok demi sendok teh hangatmu untuk mengurangi rasa pedas dilidah.

“kopi kalih pak…!” kata seorang pria yang baru saja masuk bersama temannya.
“injih nak…” sahut Pak To dan dengan cekatan menyiapkan pesanan kedua orang tersebut.

Perlahan berdatanganlah pelanggan angkringan ini, aku pun semakin terdesak bergeser ke arah sudut meja. Angkringan ini memang tidak pernah sepi. Kehangatan makanan dan minuman bersenyawa dengan kehangatan dan keramahan pak To, pemilik angkringan ini. Kalau sedang beruntung, bahkan pengunjung akan mendapat bonus cerita heroik pak To menghidupi keluarganya. Cara Pak To bercerita sangat bijaksana, mengajari tanpa berkesan menggurui.  Rhea adalah pengagum Pak To, setiap kesini ia selalu mengajak bercerita Pak To.

“kok keliatan pucat pak?” Tanya seorang pengunjung pada Pak To
“ah masak tho nak? Bapak baik-baik saja, mungkin hanya kecapekan, tadi seharian melayat di tetangga.”
“iya lho pak, kalau capek istirahat pak, tutup saja.” Sahut pengunjung yang lain
“iya nak, sebentar lagi anak bapak yang sulung akan menggantikan bapak, dia masih harus mengerjakan tugas sekolahnya.”
“wah anak bapak hebat, sekolah sambil membantu bapaknya mencari uang.”
“kemauannya sendiri nak, saya sudah larang dia, saya mau dia belajar saja, tapi dia bersikeras ingin membantu bapaknya.”

Itulah Pak To, selalu ramah meladeni pertanyaan-pertanyaan pengunjung setianya.  Pak To yang kamu kagumi Rhe, Pak To yang bercerita tentang almarhum istrinya kepada kita, ketika terakhir kalinya kita makan disana.  Masih ingat kan Rhe, dengan berlinang airmata, Pak To menceritakan nasihat terakhir istrinya menjelang ajalnya kepada putri mereka,

...kita perempuan nduk..dan selamanya akan tetap menjadi perempuan...dan ketika hidup menuntut kita untuk menjadi lebih tangguh dengan segala kenyataannya yang berbicara tanpa nurani...kita harus siap...titik tanpa tapi. sebab kita lahir di bumi ini karena ketangguhan seorang perempuan dengan bertaruh nyawa."

Waktu itu kamu langsung berurai airmata, dan dalam perjalanan pulang bertekad untuk tidak cengeng lagi, kamu bertekad untuk jadi perempuan tangguh seperti istri pak To. Sebuah tekad yang benar-benar engkau wujudkan disaat-saat terakhirmu, aku melihatmu begitu tangguh melawan sakit di kepalamu sampai detik-detik terakhirmu, bahkan kamu meninggalkan senyum terindahmu untuk kami kenang dalam keabadian.

“Pak Toooo……” kudengar seorang pengunjung berteriak sesaat kemudian warung Angkringan itu menjadi gaduh. Pak To tergeletak di kursinya dan langsung mendapat pertolongan dari pengunjung. Seseorang bergegas mendekat sambil berkata : “beri saya jalan, saya dokter.”
dokter itupun segera melihat kondisi pak To, memegang nadinya dan memeriksa matanya. Kemudian ia menggelengkan kepalanya.

Aku terduduk lemas di kursiku…..Selamat Jalan Pak….titip salam buat Rhea…….

*ketika segelas jahe susu menari-nari dipelupuk mata bersama sesosok bayangan dan kopi hitamnya

No comments: