NYANYIAN ANGSA
karya W.S Rendra
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.Sakitmu makin menjadi.Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan kapadaku kamu berhutang. Ini beaya melulu. Aku tak kuat lagi.Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya tegas dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Maka darahku terus beku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara. Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari. Matahari terik di tengah langit. Tak ada angin. Tak mega. Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran. Tanpa koper. Tak ada lagi miliknya. Teman-temannya membuang muka. Sempoyongan ia berjalan. Badannya demam. Sipilis membakar tubuhnya. Penuh borok di klangkang di leher, di ketiak, dan di susunya. Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah. Sakit jantungnya kambuh pula. Ia pergi kepada dokter. Banyak pasien lebih dulu menunggu. Ia duduk di antara mereka. Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka. Ia meledak marah tapi buru-buru jururawat menariknya. Ia diberi giliran lebih dulu dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun, utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang. Ia kesakitan waktu membuka baju sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter. Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal yang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus. Wajahnya iri dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku gemetar ketakutan. Hilang rasa. Hilang pikirku. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang. Matahari masih dipuncak. Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu. Dan aspal jalan yang jelek mutunya lumer di bawah kakinya. Ia berjalan menuju gereja. Pintu gereja telah dikunci. Karna kuatir akan pencuri. Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu. Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa? Pastor sedang makan siang. Dan ini bukan jam bicara.”
"Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu. Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu. Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?” Bau anggur dari mulutnya.Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara. Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret. Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara. Matahari terus menyala. Lalu pastor kembali bersuara: “Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan. Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya. Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya. Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati.sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam. Ia menuding Maria Zaitun.
"Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus wajahnya sombong dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Aku lesu tak berdaya. Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.Matahari terus menyala. Dan angin tetap tak ada. Maria Zaitun bersijingkat di atas jalan yang terbakar. Tiba-tiba ketika nyebrang jalan ia kepleset kotoran anjing. Ia tak jatuh tapi darah keluar dari borok di klangkangnya dan meleleh ke kakinya. Seperti sapi tengah melahirkan ia berjalan sambil mengangkang. Di dekat pasar ia berhenti. Pandangnya berkunang-kunang. Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar. Orang-orang pergi menghindar. Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran. Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan. Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang. Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Yang Mulya, dengarkanlah aku. Maria Zaitun namaku. Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
Jam empat siang. Seperti siput ia berjalan. Bungkusan sisa makanan masih di tangan belum lagi dimakan. Keringatnya bercucuran. Rambutnya jadi tipis. Mukanya kurus dan hijau seperti jeruk yang kering. Lalu jam lima. Ia sampai di luar kota. Jalan tak lagi beraspal tapi debu melulu. Ia memandang matahari dan pelan berkata: “Bedebah.” Sesudah berjalan satu kilo lagi ia tinggalkan jalan raya dan berbelok masuk sawah berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus wajahnya tampan dan dengki dengan pedang yang menyala mengusirku pergi. Dan dengan rasa jijik ia tusukkan pedangnya perkasa di antara kelangkangku. Dengarkan, Yang Mulya. Maria Zaitun namaku. Pelacur yang kalah. Pelacur terhina).
Jam enam sore. Maria Zaitun sampai ke kali. Angin bertiup. Matahari turun. Haripun senja. Dengan lega ia rebah di pinggir kali. Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya. Lalu ia makan pelan-pelan. Baru sedikit ia berhenti. Badannya masih lemas tapi nafsu makannya tak ada lagi. Lalu ia minum air kali.
(Malaekat penjaga firdaus tak kau rasakah bahwa senja telah tiba angin turun dari gunung dan hari merebahkan badannya? Malaekat penjaga firdaus dengan tegas mengusirku. Bagai patung ia berdiri. Dan pedangnya menyala.)
Jam tujuh. Dan malam tiba. Serangga bersuiran. Air kali terantuk batu-batu. Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang dan mengkilat di bawah sinar bulan. Maria Zaitun tak takut lagi. Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya. Mandi di kali dengan ibunya. Memanjat pohonan. Dan memancing ikan dengan pacarnya. Ia tak lagi merasa sepi. Dan takutnya pergi. Ia merasa bertemu sobat lama. Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya. Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya. Ia jadi berduka. Dan mengadu pada sobatnya sembari menangis tersedu-sedu. Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki. Ia tak mau mendengar jawabku. Ia tak mau melihat mataku. Sia-sia mencoba bicara padanya. Dengan angkuh ia berdiri. Dan pedangnya menyala.)
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali. Borok. Sipilis. Perempuan. Bagai kaca kali memantul cahaya gemilang. Rumput ilalang berkilatan. Bulan.Seorang lelaki datang di seberang kali.Ia berseru:
“Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali. Ia tegap dan elok wajahnya. Rambutnya ikal dan matanya lebar. Maria Zaitun berdebar hatinya. Ia seperti pernah kenal lelaki itu. Entah di mana. Yang terang tidak di ranjang. Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya. Sedang sementara ia keheranan lelaki itu membungkuk mencium mulutnya. Ia merasa seperti minum air kelapa. Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu. Lalu lelaki itu membuka kutangnya. Ia tak berdaya dan memang suka. Ia menyerah. Dengan mata terpejam ia merasa berlayar ke samudra yang belum pernah dikenalnya. Dan setelah selesai ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian bahwa hal ini bisa kualami. Semula tak berani kuharapkan bahwa lelaki tampan seperti kau bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu. Tiba-tiba ia terhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya. Di lambung kiri. Di dua tapak tangan. Di dua tapak kaki. Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat penjaga firdaus wajahnya jahat dan dengki dengan pedang yang menyala tak bisa apa-apa. Dengan kaku ia beku. Tak berani lagi menuding padaku. Aku tak takut lagi. Sepi dan duka telah sirna. Sambil menari kumasuki taman firdaus dan kumakan apel sepuasku. Maria Zaitun namaku. Pelacur dan pengantin adalah saya.)
*aahh...membaca puisi ini seperti terhakimi tanpa bisa membuat pledoi / pembelaan, rasanya saya dengan 'kemanusiaan" saya dalam hidup ini sering menjadi 'maria zaitun" di suatu waktu, kemudian menjadi majikan di waktu lain, menjadi teman-temannya maria zaitun, menjadi sesama pasien di klinik, menjadi dokter, menjadi juru rawat, menjadi koster, menjadi pater di waktu yang lainnya lagi....
*sigh ...sungguh sebuah puisi yang bisa menjadi bahan renungan menyambut tri hari suci....
sebagai apa kita bagi "diri kita" sendiri dan "sesama" kita dalam paruh perjalanan hidup kita....
sang majikan?
teman-temannya Maria Zaitun?
sesama pasien?
dokter?
juru rawat?
koster?
pater?
atau kita ingin meneladani Sang Mempelai? Sang Kasih yang sempurna?
sungguh pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan menanyakan pada diri kita sendiri seberapa "bahagia" kita "bahagia" dalam hakikat yang sebenarnya dalam menjalani hidup yang kita jalani...
pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan senyum bahagia orang-orang disekitar kita karena keberadaan kita....
pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh sang waktu....
pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan berapa jumlah orang yang menghadiri pemakaman kita nanti....
pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan senyum dari mereka yang mengenang keberadaan kita kelak....
Selamat menjadi siapa saja yang kita pilih :) karena setiap pilihan sifatnya personal...
hanya ada resiko yang harus dipikul disatu sisi dan ada buah yang bisa dipetik di sisi lain.
*soreiniketikaakutidaktahuapayangadadalampikirankuhampasekali*