Tuesday, October 2, 2012

shoulder to cry on...



Siang Nus....
Masih tangguhkah engkau menjaga lautan....?
matahari belum berhasil mengeringkan kerajaanmu kan...? sepertinya belum, karena hujan baru sekali turun disini.
Masih belum bosan mendengar ceritaku kan...?
Masih cerita tentang kenyataan hidup yang berbicara tanpa nurani, malam itu sehabis hujan yang mungkin ini kali kedua aku begitu mensyukuri turunnya hujan, sehabis kami hanging out menghabiskan sabtu malam dengan makan bersama the band of sisterhood di sebuah rumah makan yang penuh sesak dan membuat saya berpikir, ini realita hidup di suatu sudut orang-orang termasuk saya dan teman-teman makan makanan dan minuman seharga makanan dan minuman untuk 3 hari suatu keluarga kecil di sudut bumi yang lain. Ahhh....kalau sudah menyadari itu, rasanya aku merasa “kebangeten” banget Nus...terkadang tidak bisa mensyukuri hidup yang terberi ini.

Kembali ke ceritaku Nus, kali ini aku mendengar cerita kehidupan dari seorang anak manusia. Cerita kehidupan yang membuat ia terisak menceritakannya dan membuat kami semua terdiam mendengarnya karena sangat tidak menyangka sama sekali. Ketika sosok ayah yang bagi sebagian anak di muka bumi ini seharusnya adalah sosok pelindung, pengayom, teladan, benteng keluarga, tulang punggung keluarga, pahlawan bagi keluarga ternyata jauh dari image itu. Seorang ayah bukan lagi pelindung, pengayom tapi justru menjadi sosok yang dibenci, bukannya jadi teladan tapi malah memberi contoh yang tidak baik, bukannya jadi benteng atau tulang punggung keluarga tapi malah penggerogot keluarga, bukannya jadi pahlawan tetapi justru menjadi musuh dalam selimut.

Benar kata orang Nus... setiap orang memanggul beban kesedihan, kepahitan, lukanya masing-masing, semuanya memang diberi Nus...ya semua tanpa terkecuali, seorang yang selama ini kelihatan nyaman-nyaman saja, menikmati hidupnya dengan enak, ternyata menyimpan cerita kepedihan yang menyakitkan. Kata orang Jawa, hidup itu “wang sinawang” yang terlihat merah di kehidupan orang lain bisa saja kelabu dibaliknya, demikian sebaliknya. Dan pada akhirnya aku sampai pada kesimpulan.., bahwa kesedihan, penderitaan, kepahitan hidup itu relatif. Kepahitan A akan berbeda dirasakan oleh Noel dan Keenan, bagi Noel bisa saja terasa berat, karena ia masih terlalu belia untuk mengalami hal itu atau karena ia belum pernah merasakan kepahitan hidup selama ini, sehingga ketika kepahitan hidup itu harus dia cecap, sangat terasa pahit baginya, tapi bagi Keenan kepahitan A adalah sesuatu yang biasa saja dan kecil untuk diatasi. Dan suatu saat ketika Noel sudah bisa melalui kepahitan A, ia pasti akan seperti Keenan ketika menghadapi kepahitan yang lain yang bagi Wawan adalah adalah sebuah kepahitan hidup yang begitu berat.

Nus... setiap orang diberi kesempatan di posisi Noel dan Keenan, dan kami yang berada di posisi Keenan malam itu, berusaha menguatkannya, mencerahkannya, karena untuk itulah kami diciptakan Nus...menjadi penolong, menjadi “shoulder to cry on”  bagi sesama. Karena ada masanya kami juga akan berada di posisi Noel. Dulu aku pernah merasa terlahir sebagai orang yang paling malang dan paling menderita se dunia, tapi seorang Keenan pernah menyadarkanku bahwa aku bukan “the only one” yang paling malang dan menderita di dunia ini, ada banyak bahkan jauh lebih malang dan menderita di dunia ini. Dan malam itu, aku dan teman-temanku diberi kesempatan menjadi Keenan, menjadi “shoulder to cry on”  bagi orang lain. Hidup memang berputar Nus... Semoga seseorang yang malam itu terisak-isak menceritakan kepahitan hidupnya itu bisa melalui semuanya itu dengan baik ya... Nus, karena itu memang cara terbaik membuat kami manusia belajar menjadi kuat... menjadi tangguh.

Nus....itu ceritaku...sampai jumpa di cerita yang lain.



Aku,

#Oktober dua 

No comments: