Matahari sudah bersiap turun dari singgasananya, ia adalah matahari yang sama dari sejak manusia menamainya matahari hingga sekarang, ia adalah matahari yang selalu memberi kehangatan di pagi hari pada burung-burung kecil, pada bayi-bayi merah di halaman rumah, pada mereka yang memiliki pagi yang satu jam-nya 90 menit. Ia juga matahari yang selalu menginspirasi pejuang-pejuang kehidupan untuk terus menerik, meski awan-awan silih berganti mencoba menghalangi sinarnya, ia tidak pernah menyerah, ia matahari yang tidak bisa menyerah meski ia ingin dan berhak untuk itu.
Matahari mempunyai banyak sahabat yang mengiringinya dari mulai terbit hingga tenggelam di peraduannya. Salah satunya seorang perempuan, perempuan penenun debu. Kehangatan matahari pagi adalah saat ketika perempuan itu memulai perjalanannya bersama matahari setelah semua ritual pagi didalam rumahnya ditunaikan, rumah...entahlah, apakah itu layak disebut rumah jika dilihat dari segi bangunannya, satu yang pasti baginya, rumah adalah tempat cinta dan kasih dalam sebuah keluarga berdialektika, sesederhana itu. Berbekal dua kantung besar hampir setinggi tubuhnya sendiri dia mulai melakukan perjalanannya bersama matahari. Dari depan rumahnya, tubuhnya mulai memunguti debu. Debu dan sinar matahari yang ditenunnya membungkus kulitnya menjadi legam.
Dari satu bak sampah ke bak sampah lain ia mengais harapan, harapannya dan harapan anak-anaknya untuk bisa makan esok hari, harapan untuk menemukan plastik-plastik dan rombengan yang bisa dimasukkan dalam kantungnya untuk ditimbang dan ditukar dengan 1 lembar rupiah bergambar pangeran Antasari per kilogramnya. Harapan yang tidak selalu menjadi kenyataan, ketika ia harus menelan kekecewaan karena ia telah keduluan pemulung lain yang telah berangkat lebih dulu, atau karena orang-orang lebih senang membuang sampah disembarang tempat daripada di tempatnya, ia sadar harapan memang tidak selalu menjadi kenyataan, hidup telah mengajarinya menyadari hal itu, tetapi seperti kawannya matahari, ia tidak bisa berhenti berharap, karena hanya itu satu-satunya yang masih membuatnya bertahan, harapan agar anak-anaknya tidak mengalami kehidupan seperti dirinya.
Matahari telah sampai di ubun-ubun kepalanya, sarapan nasi dan sepotong tempe kemul sisa anak-anaknya sudah tidak berbekas lagi, perutnya sudah melilit-lilit meminta untuk diisi, di bawah sebatang pohon akasia di depan sebuah sekolah dengan murid yang berseragam putih abu-abu, ia berhenti dan beristirahat dengan dua kantung besarnya yang baru berisi setengah. Ia duduk dan memperhatikan siswa-siswi yang sedang beristirahat itu, pikirannya melayang jauh kedepan dengan satu pertanyaan besar laksana godam menggantung diatas kepalanya, mampukah ia membawa anak-anaknya masuk ke sekolah itu nanti, sementara sekarang saja si sulung sudah dua bulan ini belum membayar uang sekolah, batinnya menjerit, betapa untuk menjadi pintar saja demikian susahnya di negeri ini.
Lamunannya terhenti ketika ada sebuah tangan menyentuh bahunya dan dengan tersenyum seorang gadis belia memberikan sebuah kotak berisi makanan, tanpa bicara ia memberikan kotak makanan itu dengan satu-satunya tangan yang dimilikinya, dan dengan tangan yang sama ia memberi isyarat pada perempuan itu untuk memakan kue pemberiannya. Perempuan itu menerima kotak makanan itu dan mengucapkan terimakasih pada gadis belia itu. Gadis itu tidak beranjak, dengan tangannya ia kembali mengisyaratkan pada perempuan itu untuk memakan makanannya. Perempuan itupun membuka kotak makanannya, tetapi ia menutupnya kembali, ia berkata kepada gadis itu, “saya tidak bisa memakannya sekarang, saya akan memakannya bersama anak-anak saya nanti.” Gadis itupun membalikkan badannya dan berlari masuk ke sebuah toko kue dan kembali lagi dengan sebuah kotak makanan ditangannya. Diberikannya pada perempuan itu dengan isyarat yang sama dengan yang tadi. Perempuan itu menerima kotak itu dengan berlinang airmata, sambil mengucapkan terimakasih. kemudian ia bertanya, “boleh ibu tahu siapa nama eneng?” gadis itu menunjuk mulutnya dan menggerakkan tangannya. Seorang ibu menghampiri mereka kemudian berkata, “maaf anak saya belum bisa bicara sejak kecil bu”, kemudian ia menggamit tangan anaknya dan berpamitan, “kami pergi dulu ya bu....” kemudian berlalu menuju ke mobilnya tanpa menunggu jawaban dari perempuan itu.
Airmata perempuan itu tidak bisa ditahannya lagi, ia tidak tahu harus bersyukur atau bertanya mengapa, kepada sang pencipta atas apa yang baru saja dialaminya. Ia tidak tahu apakah ia harus bersyukur atau bertanya mengapa untuk semua kelengkapan yang tuhan beri diatas hidupnya yang serba kekurangan sementara disaat yang sama ada orang yang dikaruniai ketidaklengkapan diatas hidup yang berkecukupan. Ia bahkan tidak tahu seandainya dia disuruh memilih hidup seperti apa yang dia mau. Satu hal yang ia lakukan hanya menaikkan doa untuk kebahagiaan gadis itu, kebahagiaan yang sama yang selalu dimohonkan dalam untaian doanya setiap malam untuk anak-anaknya tercinta.
Matahari telah mengarungi tiga perempat hari, ia masih matahari yang sama, matahari yang selalu bersemangat untuk bersinar, matahari yang mengajari untuk tidak jumawa, untuk tetap membumi, dengan turun dari singgasananya di sore hari dan memberi kesempatan malam bertahta. Kedua kantung besar perempuan itu telah nyaris penuh, dengan terseok-seok dia menggendongnya menuju gudang pak Jatmiko untuk menukarnya dengan lembaran-lembaran rupiah yang bisa dibawanya ke warung mbok Darmi untuk membayar beras dan keperluan lainnya. Kerja keras sehari yang hanya bisa untuk hidup sehari yang selalu diajarkan pada anak-anaknya untuk disyukuri. Karena dilain tempat bahkan ada yang bekerja keras selama satu hari hanya bisa untuk hidup setengah hari. Bahagia itu sederhana, cukup dengan mensyukuri semua yang terberi, itu yang selalu diucapkannya pada anak-anaknya sebelum tidur di penghujung dongengnya.
*be grateful no matter what.
**terinspirasi dari seorang perempuan dengan dua kantung besar berisi hasil pulungannya di Jl. Veteran beberapa sore yang lalu.
#Oktober 9
No comments:
Post a Comment