Dear Neptunus,
Boleh kan aku ikut menulis surat untukmu, meski aku bukan
agen Neptunus. Karena aku tidak yakin mempunyai radar seperti milik Kugy dan
Keenan.
Aku ingin menulis surat untukmu, karena aku tidak tahu harus
bercerita pada siapa...
burung-burung di pagi hari terlalu sibuk bernyanyi mengucap syukur untuk hari baru...
langit biru siang hari lebih memilih menjamu dan menemani matahari berlayar di biru halamannya...
malam telah bosan dengan keluhan mata yang terjaga hingga dinihari menemani sibuknya pikiran bekerja...
bahkan bantal pun sudah lelah mendengar cerita airmata tentang gelombang yang tidak pernah jera menghampiri pantai, meski pantai tidak pernah menginginkannya.
burung-burung di pagi hari terlalu sibuk bernyanyi mengucap syukur untuk hari baru...
langit biru siang hari lebih memilih menjamu dan menemani matahari berlayar di biru halamannya...
malam telah bosan dengan keluhan mata yang terjaga hingga dinihari menemani sibuknya pikiran bekerja...
bahkan bantal pun sudah lelah mendengar cerita airmata tentang gelombang yang tidak pernah jera menghampiri pantai, meski pantai tidak pernah menginginkannya.
Neptunus, ini surat pertamaku padamu, sepertinya engkau
teman (begitu kalau aku boleh menyebutmu) yang mempunyai telinga seperti gajah yang tidak akan tumpah
menampung sebuah cerita biasa tentang pelayaran sebuah perahu kertas, ya perahu
kertas seperti milik Kugy, perahu kertasku, perahu kertas sederhana yang mencari nakhodanya,
sebuah perahu yang rapuh…sangat rapuh, terombang-ambing kesana kemari oleh arus
yang sebenarnya tidak begitu deras…sebuah perahu yang hanya berusaha untuk
tidak kuyup oleh basahnya kecipak air-air yang bermuara dikerajaanmu, sebuah
perahu yang sekuat tenaga berusaha tidak terbalik oleh deru angin dari delapan penjuru
mata angin, sebuah perahu yang terseok-seok sesekali menabrak bebatuan…oleng…dan
Angin Timur membantunya tegak kembali.
Neptunus, cerita sudah dimulai dari utara, jauh…jauh sebelum aku mengenal engkau melalui Kugy dan Keenan,( oya…aku suka sekali nama Keenan, entah kenapa….) dan sepertinya akan terlalu melelahkan kalau harus mengais-ngais lagi cerita-cerita tersebut dari tumpukan kenangan, bukan aku tidak mau bercerita tentang itu semua, aku hanya ingin bercerita tentang pelayaran perahu kertasku di ujung-ujung hari ini, tetapi aku janji, aku akan menyematkannya sesekali nanti sambil bercerita tentang pelayaran perahu kertasku.
Neptunus, beberapa waktu yang lalu aku menerima pemberian sebuah buku, sebuah kumpulan cerpen lebih tepatnya, yang memuat tulisan dari seorang penyair idolaku, aku menerimanya ketika aku tergolek tak berdaya karena kelemahan tubuhku, aku bahkan baru bisa membukanya keesokan harinya, kata-kata yang tertulis dihalaman pertama menjadi alasanku untuk melawan sakitku dan bertekad untuk sembuh. Halaman pertama itu juga yang menjadi halaman yang memuat tulisan terbaik diantara 11 cerita pendek didalamnya , meski mungkin sang pemberi tidak pernah menyadari arti dari pemberiannya. Seperti ia juga tidak pernah mempercayai bahwa ada sebuah perahu kertas yang tidak hanya menginginkan ia menjadi nakhodanya, tapi perahu itu membutuhkannya, ya membutuhkannya lebih dari apapun.
Kondisi perahu yang sudah demikian compang camping pun tidak bisa membuktikan apapun. Seseorang berkata, kalau engkau kuat, engkau harus berlayar lagi untuk membuktikan itu, compang camping perahumu tidak cukup untuk membuktikannya. Ahh…Neptunus…aku bahkan sanggup untuk berlayar lagi, meski perahu ini sudah demikian payah…aku sanggup dan mau.
Tapi Neptunus, sepertinya bukan itu penyebabnya, penyebabnya adalah seperti pantai yang selalu mengirimkan kembali ombak ke laut, demikian juga ia…ia tidak pernah menginginkan perahuku, ia tidak ingin menjadi nakhodaku, dan engkau tahu Neptunus….? Lubuk hatiku yang paling dalam merasakan, ia melihat perahu yang lain, aku tidak tahu perahu yang mana, entah masih perahu yang lama atau perahu yang lain, sepertinya perahu yang lain….ya ada perahu yang lain. Dulu…aku pernah bilang, aku rela jika ia menemukan perahu lain, asal dia bahagia berlayar, asal aku bisa melihatnya tersenyum karena aku tidak sanggup melihat gurat-gurat kesedihan pada sinar matanya, tapi kini…..ahh….Neptunus…aku benci mengatakannya… aku benci mengatakannya… kalau aku sungguh tidak rela. Tapi apa yang bisa aku lakukan, sebuah perahu tidak bisa memilih nakhoda yang diinginkannya, Nakhodalah yang bisa memilih sebuah perahu dan beruntunglah perahu yang mendapatkan nakhoda yang diinginkannya. Lalu bagaimana dengan perahu yang tidak bisa memilih nakhodanya….? Aku takut sekali Neptunus, aku takut mendapatkan Nakhoda yang tidak aku mau, aku takut aku akan menenggelamkan kami….
Neptunus, katakan saja apa yang harus aku lakukan. Memikirkan itu sungguh membuatku kehilangan separuh aku. Kini perahuku terombang-ambing dipermainkan angin, tanpa tahu harus melaju kemana. Aku takut tenggelam. Aku takut perahuku terhempas di rawa-rawa tanpa bisa bergerak. Aku takut perahuku ditemukan nakhoda lain karena aku tidak mau menenggelamkan kami, jika pun memang harus tenggelam aku ingin tenggelam sendiri aku tidak ingin mencelakakan orang lain. Katakan Neptunus…katakan, apa yang harus aku lakukan.
Neptunus, ini tentang dia, kalau memang akhirnya Semesta membuat cerita lain untuknya, cerita bahagia pelayarannya dengan perahu yang baru, ajari aku keikhlasan sang daun yang gugur. Aku titipkan dia padamu, ajari dia berlayar dengan baik di aliran-aliran sungai kehidupan menuju kerajaanmu. Ajari dia hakikat gelombang dan badai disepanjang sungai kehidupan, seperti selama ini engkau telah mengajari mereka para nakhoda-nakhoda handal, aku hanya pernah sedikit berbagi dengannya tentang hakikat gelombang dan badai itu, aku ingin dia memahami bahwa Semesta tidak akan pernah membiarkannya hancur oleh badai, aku ingin dia memahaminya untuk bisa tetap tegak berdiri seusai badai reda, aku ingin dia menjadi nakhoda yang tangguh, aku tahu dia bisa. Sangat bisa.
Neptunus, buat dia tersenyum dalam pelayarannya ya... kirimkan camar-camarmu untuk berceloteh tentang -elegi pasir hitam yang ingin menjadi peri kecil- untuk menghiburnya ketika ia sedang suntuk, kirimkan rona merah saga senja dan cahaya jingga untuk menghapus letihnya, kirimkan lumba-lumbamu untuk menari menghiburnya ketika ia sedang bersedih, bimbing ia menemukan mutiara-mutiara kehidupan yang tersembunyi dalam setiap tiram dalam perjalanannya. Neptunus, engkau tahu jumlah butir pasir dibibir pantai kerajaanmu? Tak terhitung jemari pula doaku untuknya dalam setiap pelayaranku sejak membuka mata hingga menutup kembali.
Neptunus, jagai dia untukku. Karena kata sayang bahkan tidak bisa mewakili rasa ini.
No comments:
Post a Comment