Tuesday, October 18, 2011

~.[masih] tentang DIA.~


Kehidupan keseharianmu adalah kuilmu dan agamamu

Kahlil Gibran

Agama kadang membuat konsep tuhan menjadi begitu njlimet...padahal IA begitu sederhana, nyata, dalam kehidupan sehari-hari. IA ada dalam eksotika pagi, ketika fajar menyingsing, pada nyanyian burung, pada mekarnya anggrek bulan, pada segelas nasi yang ditanak, pada 5 menit adegan film sponge bob, pada suara Sydney Mohede, pada sms seorang kawan, pada petikan gitar seorang teman, pada gorengan depan penginapan, pada wajah seorang teman yeng ditekuk, pada sebungkus nasi padang, pada keluhan seorang teman, pada guyonan teman kantor, pada video Sammy di Harmony, pada tumpukan cucian, pada gerimis di sore hari, pada obrolan di depan TV, pada megahnya senjakala, pada celotehan Dedy corbuzier dan tamunya, pada obrolan di tempat parkir, pada kata-kata Mario Teguh, pada lelucon OVJ, pada bioskop Trans TV, pada status di FB, pada tulisan di blog, pada ritual melipat tangan sebelum tidur, pada malam yang menjauh, pada mimpi yang terlupa, sampai fajar kembali menyingsing lagi.....begitu sederhana bukan...begitu nyata...begitu dekat...tinggal buka mata...buka telinga...buka hati...dan kita menemukanNYA.


Pengalaman seorang Dee (Dewi Lestari) dalam perjumpaanya dengan Tuhan pernah dituliskannya di blog nya, yang saya kutipkan dibawah ini :



Brunch and Lunch with God  Dalam pekan yang sama, saya bertemu dua orang muda, sama-sama pria, sama-sama lahir pada bulan Januari, dan yang lebih signifikan lagi, mereka adalah profil nyata dari apa yang selama ini saya kisahkan lewat Supernova. Para pengembara spiritual muda, urban (bahkan gaul), yang jiwanya telah terbangun dan kembali bersua dengan Tuhan yang bersemayam di dalam diri. Profil semacam itu kerap saya analogikan dengan tokoh komik Lucky Luke. Koboi penyendiri yang berkelana dengan kuda putih. Lucky Luke adalah passer by sejati. Dia tidak pernah menetap di satu tempat, sekalipun selalu diminta. Komik Lucky Luke selalu ditutup dengan adegan di mana dia kembali sendiri, menunggang Jolly Jumper, menghadap horizon tempat matahari terbenam, menyenandungkan lagu yang sama: “I’m a poor, lonesome cowboy...”
 Saat kami berbicara, seketika saya tahu kalau hubungan kedua teman saya dengan Tuhan bukan lagi tuan dan hamba, melainkan seperti sepasang kekasih. Tak jarang mereka ‘bingung’ bagaimana harus ‘beribadah’, karena komunikasi mereka dengan Tuhan teramat dekat hingga format ritual standar tak lagi diperlukan. Bagi yang terbiasa mengenal Tuhan lewat pihak ketiga, baik lewat orang, institusi, maupun manuskrip, pasti janggal mendengar obrolan mereka. Andai kita mundur ke konteks ratusan tahun yang lalu, saya tidak akan heran jika teman-teman saya ini dirajam atau disalib. Kekasih Tuhan yang sedang ekstase dimabuk cinta adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Namun pada masa ini saya dapat menemui mereka di gelato bar atau sushi bar dengan aman sentosa. Teman lunch saya keluar dari pekerjaan nine to five demi mendalami penyembuhan, sementara teman brunch saya mendalami seni lukis dan masih kerja di stasiun teve-nya anak muda. Bagi yang masih berharap bahwa profil para spiritualis itu harus berjubah, berjanggut, dan tua renta, pasti kecewa melihat mereka. They’re just the guys next door. Kita akan berpapasan dengan ratusan profil seperti itu saat jalan di mall atau saat clubbing. Saya tidak bisa meluputkan fakta itu saat mengamati gaya mereka bicara, menyimak proses pencerahan mereka, sembari melahap sushi dan menyuap gelato, dan saya menyadari apa yang selama ini hilang dari sekitar kita. Profil Tuhan yang mudah diraih. Tuhan yang asyik-asyik aja. Tuhan yang trendi. Tuhan yang gue banget. Tuhan yang menyuarakan kebenaran kekal dalam bahasa gaul. Saat kita pergi ke bagian spiritual/rohani di toko buku, bisakah kita temukan Tuhan seperti itu? Dengan mudah kita temukan Tuhan dari perspektif dua ribu atau lima ratus tahun yang lalu. Namun perspektif akan Tuhan yang berpijak pada kekinian sungguh susah dicari, nyaris tidak ada. Saya meyakini para ‘lentera’ muda itu bukan cuma dua-tiga jumlahnya. Dan saat mereka bersuara, atau diberi kesempatan bersuara, sumbu-sumbu yang bersemayam di hati banyak orang muda lainnya akan tersulut dan menyala. Tidak ada yang otentik dari kebenaran. Kebenaran adalan kebenaran. Sama bunyinya dan sama gaungnya sejak semesta ada hingga hari ini. Namun pengalaman setiap individu atasnyalah yang selalu otentik dari zaman ke zaman. Ini yang telah menjadi langka di sekitar kita. Otentisitas. Otentisitas pengalaman kedua teman saya mengingatkan kembali pada otensititas pengalaman pribadi saya dengan Tuhan. Pertemuan kami bagai koboi-koboi pengelana yang berjumpa di jalan dan bertukar cerita. Dalam kesendirian di setapak masing-masing kami tahu kami tidak sendiri. Pertemuan semacam ini oase bagi batin dan oksigen bagi nyala api hati. Setelah berpisah, kami bertukar sms. Lucu. We all thought that we just had meetings with God. God within ourselves. God in a rice roll, God in an ice cream cone. God in a pair of jeans. God that carries a digital camera. God the authentic. God the dude. Who wouldn’t want one?
http://dee-idea.blogspot.com/2006/07/brunch-and-lunch-with-god-unpublished.html


Dan beberapa waktu lalu [lagi-lagi] saya menemukanNYA di novel yang saya baca....yang kemudian saya bagikan di facebook saya :)) . Tuhan yang menegur saya, lewat novel karena saya membiarkan orang-orang disekeliling saya berkabung akibat sikap saya yang kalau saya pikir2 lagi sangat amat "njelehi ". 






Selamat berjumpa denganNYA.....:)





No comments: